Koranprabowo.id, BelaNegara :

Tan Peng Nio adalah anak dari Jenderal Tan Wan Swee, seorang tokoh yang tidak hanya berpengaruh di Tiongkok, tetapi juga terlibat dalam pemberontakan yang gagal terhadap Kaisar Qian Long dari Dinasti Qing. Konflik antara Tan Wan Swee dan kaisar membuatnya berpikir untuk melindungi sang putri.

Dalam keputusan yang penuh pertimbangan, Jenderal Tan Wan Swee menitipkan Tan Peng Nio kepada sahabatnya, Lia Beeng Goe. Lia Beeng Goe, selain menjadi ahli pembuat peti mati, juga memiliki keahlian dalam bela diri.

Mereka melakukan pelarian hingga ke Singapura, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Sunda Kalapa (Batavia/Jakarta). Di sana, Tan Peng Nio tidak hanya berusaha menyembunyikan identitasnya, tetapi juga mulai mengasah keterampilan bela diri dari Lia Beeng Goe.

Pada tahun 1740, kisah heroik Tan Peng Nio mencapai puncaknya ketika terjadi Geger Pacinan. Peristiwa ini dikenal sebagai huru-hara di mana etnis Tionghoa menjadi sasaran pembantaian oleh tentara VOC Belanda. Dalam situasi genting ini, Tan Peng Nio dan Lia Beeng Goe mengungsi ke arah Timur, mencapai Kutowinangun (Kebumen, Jawa Tengah).

Ilustrasi yang menggambarkan pembantaian dan pembakaran rumah etnis Tionghoa di Batavia oleh Belanda pada 9 Oktober 1740. Foto: Wikipedia

Di Kutowinangun, kisah perjalanan Tan Peng Nio berlanjut ketika ia bertemu dengan Kiai Honggoyudho, seorang ahli pembuat senjata. Bersama-sama, mereka membentuk pasukan bentukan KRAT Kolopaking II untuk melawan penindasan Belanda yang terus berlanjut. Kolopaking merupakan salah satu ‘marga’ suku Jawa yang banyak melahirkan tokoh nasional, dsb yang dikenal gigih dalam menentang penjajahan Belanda. Yang berasal dari leluhurnya, yaitu Kertawangsa atau Ki Panjer III yang merupakan penguasa daerah Panjer/Kebumen.

Nama “Kolopaking” sendiri berasal dari kata “kelapa” yang artinya buah kelapa, dan “aking” yang artinya kering.

Selama 16 tahun (1741-1757), Tan Peng Nio berada di garis depan perang bersama 200 pasukan KRAT Kolopaking II, yang dikirimkan untuk memberikan dukungan kepada pasukan Pangeran Garendi. Dalam perjalanan ini, ia bahkan dikabarkan menyamar sebagai seorang prajurit laki-laki untuk menghindari pengungkapan identitasnya. Perang berakhir dengan perundingan Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755.

Setelah perang berakhir, Tan Peng Nio menikah dengan KRT Kolopaking III. Dan diberikan gelar RADEN AYU. Pasangan ini menetap di Kutowinangun, Kebumen, Jawa Tengah. Dari pernikahan mereka, lahir dua orang anak, KRT Endang Kertawangsa dan RA Mulat Ningrum.

Tan Peng Nio dikebumikan dengan penuh kehormatan di Desa Jatimulyo, Kecamatan Alian, Kebumen, Jawa Tengah. Makamnya dibangun dengan gaya tradisional Tionghoa yang mencerminkan warisan budayanya.

(Red-01/Foto.ist)

@koranjokowi.com

@koranjokowi

HOME

@.koranprabowo.id

@koranprabowo.id

https://www.facebook.com/profile.php?id=61557277215737

Please follow and like us:
error0
fb-share-icon20
Tweet 20
fb-share-icon20

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error

Anda suka dengan berita ini ?