Koranprabowo.id, Imajiner :
Bung Karno sejak usai taraweh akhir di bulan Ramadhan 1362/1943 duduk terdiam diatas sajadahnya, sahabatnya Prof. Dr. H. Mohammad Rasjidi – mahasiswa Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir pun terdiam. Ibu Fatmawati memahami dia pun membereskan sajadahnya dan bangkit keluar ruangan rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, yang kini dikenal sebagai Jalan Proklamasi.
“Besok aku bertemu wartawan dari Majalah M.I.A.I. (Majlis Islam Ala Indonesia) , apa yang harus aku sampaikan, Rasjidi?”, bisik Paduka sambil membalikan tubuhnya berhadapan dengan sahabatnya ini. Rasjidi tidak menjawab, dia tahu sahabatnya ini sedang resah bukan karena soal wawancara namun resah karena mendengar desa-desus sahabatnya Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo sedang gerilya untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI)
“Bung, engkau adalah SINGA PODIUM sebagaimana yang digelari rakyat kebanyakan juga dunia internasional. Maka apa yang ada dalam pikirmu itu yang Bung sampaikan kepada media”, jawab sahabatnya lirih.

Paduka tersenyum kemudian bangkit dari sajadahnya dan mengajak keruang tamu, disana Fatmawati telah menyediakan teh panas dan sedikit panganan serupa pisang rebus dan kue mangkok kegemaran Paduka. Saya yang duduk disudut mushola kecil dalam rumah pun diajak serta.
“Oh ya, Rasjidi. Ini Arief, PimRed Koranjokowi.com dan Koranprabowo.id. Dia ini selalu ‘ngintilin’ aku dimana aku berada, dia bukan jurnalis tapi relawan. Aku tertarik dengan kolomnya tentang imajiner sejak tahun 1987 lalu di media cetak”, kata Paduka , saya pun menyalami , sahabatnya itu menepuk bahu. “Bagus, suarakan terus bung Arief. Karena banyak hal positip yang dapat kita ambil dari sosok seorang SINGA PODIUM ini dengan lebih unik dan elegan sesuai masanya”,kata ‘Om Rasjid sambil mengangkat dua jempolnya.

“Siap, Insha allah, om”, jawab saya yang kemudian saya tahu jika Om ini kemudian dipilih Paduka sebagai Menteri Agama RI Pertama sejak 14 November 1945 – 2 Oktober 1946. Saya manggut-manggut kami pun larut dalam pembicaraan banyak hal.
Termasuk tentang Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) , sebuah federasi organisasi Islam yang dibentuk pada 21 September 1937 di Surabaya, yang bertujuan untuk menyatukan umat Islam dan menampung berbagai organisasi Islam yang berkembang di Indonesia, terutama selama masa pendudukan Belanda dan Jepang. Kemudian dalam perjalanannya di bulan November 1943 digantikan menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Para penggagas MIAI adalah KH Wahab Hasbullah/Kiai Wahab (Nahdlatul Ulama), KH Mas Mansur (Muhammadiyah), KH Muhammad Dahlan dan W Wondoamiseno (Sarekat Islam).
Tiba-tiba Ibu Fatmawati menyampaikan jika ada telepon dari MIAI, Paduka bergegas kedalam, hampir 10 menit kemudian Paduka telah duduk diruang tamu.Sambil menyantap Kue bolu, Paduka mengatakan jika wartawan MIAI batal ke Jakarta dan Paduka diminta untuk mengirim tulisannya melalui telegram.
Paduka kemudin meminta saya mengambilkan mesin tik ‘idolanya’ Paduka dekat ruang dalam, “Itu merk-nya Hermes Baby buatan Switzerland thn.1940, Mesin tik ini hadiah dari Laksamana Muda Tadashi Maeda, perwira tinggi AL Kekaisaran Jepang pada masa Perang Pasifik thn.1937-1945”

Paduka pun mulai bekerja, untuk lebih fokus Om Rasjid mengajak saya ke teras, om ini berceritera Beliau dilahirkan di Kotagede 20 Mei 1915 , anak kedua dari lima orang bersaudara. Ayahnya , Atmosudigdo, seorang pengusaha batik yang sukses dan berpengaruh, baik di lingkungannya maupun daerah lain.
Di Mesir, Om Rasjid aktif di beberapa organisasi seperti organisasi Jami’iyah Khairiyah (Perkumpulan Kebajikan Indonesia) yang didirikan pada 1931 di bawah kepemimpinan Djaman Thaib. Setelah tujuh tahun di Kairo dengan mendapatkan gelar kesarjanaan, ia kembali ke Tanah Air dan menikah dengan Siti Sa’adah pada 26 Oktober 1938 di Kotagede.

Tidak beberapa lama, Paduka memanggil Om Rasjid untuk mengoreksi tulisan Paduka, hebatnya tidak ada koreksi, Om ini mengangkat 2 jempolnya. Itulah Paduka yang selalu berpidato dan menulis dengan hati dan jiwa, berikut naskah tulisan itu ;
‘Peperangan makin memoentjak! Kita menghadapi elimaznja (memoentjaknja) peperangan sekarang ini! Insjafkah kita akan arti Lebaran kita itoe? Di dalam pidato radio saya pada tanggal 15 september, saya anjoerkan soepaya kita semoe’a tahan menderita di dalam peperangan ini.
Saya katakan, bahwa tiada satoe bangsa yang tidak menderita di masa perang, dan bahwa tiada bangsa dapat mencapai kemenangan, kalaoe tiada tahan menderita. Mengoetip Al’qoeran soerat asy-Syarh (94) ayat 5, inilah INNAMAAL OESRI JOESRA, kebahagiaan sesoedah kesoesahan!’
Maka kemenangan-achir pasti dipihak kita!
Kemudian saya dimintakan membacanya, Paduka memanggil Ibu Fat dan beberapa pegawai untuk mendengarkannya, usai saya baca, semua bertepuk-tangan. Paduka pun mengambil kertas itu dan berjalan kedekat jendela dan berkata tegas,
‘Lebaran Kita haroes merajakan Lebaran sekarang ini didalam semangat tahan-menderita itoelah! Satu boelan kita berpoeasa! MELATIH DIRI TAHAN-MENDERITA! Marilah kita hadapi ,, tahoen jang baroe ini sebagai satoe bangsa, jang benar-benar berlatih tahan-menderita didalam boelan Ramadhan’.
Paduka menganalogikan jika puasa Ramadhan sebagai penderitaan untuk melatih diri dan Lebaran sebagai kemerdekaan dan buah hasil dari penderitaan atau perjuangan, merefleksikan bukan hanya kemenangan dari satu bulan berpuasa, tapi kemenangan atas perjuangan selama berjuang.
‘Wiiihhh, keren !
(Red-01/Foto.ist)








