Koranprabowo.id, Politik :
Djakarta, Pada 5 Desember 1957 perayaan Sinterklas yang biasa diselenggarakan
komunitas Belanda di Indonesia berubah menjadi mimpi buruk. Presiden Soekarno
mengambil langkah tegas dengan melarang perayaan tersebut—bukan sekadar menolak
tradisi Belanda, tetapi sebagai bagian dari respons keras terhadap ketegangan politik
antara Indonesia dan Belanda terkait perebutan Irian Barat.
Selama bertahun-tahun, setiap 5 Desember, Batavia (sekarang Jakarta) dipenuhi
kemeriahan perayaan Sinterklas. Sosok berjanggut putih itu tiba di Pelabuhan Sunda
Kelapa, berarak keliling kota, hingga berpesta di Societeit Harmoni. Namun, di tahun
1957, suasana berubah drastis. Keputusan PBB yang tetap mempertahankan Irian Barat di
bawah kekuasaan Belanda memicu amarah Soekarno. Sebagai balasan, ia tidak hanya
melarang perayaan Sinterklas tetapi juga memerintahkan nasionalisasi perusahaan
Belanda dan mengusir sekitar 50.000 warga Belanda dari Indonesia.

Momen ini dikenang sebagai “Sinterklas Hitam” atau Zwarte Sinterklaas, sebuah
peristiwa yang menandai akhir dari kehadiran besar Belanda di Indonesia. Apa yang
sebelumnya menjadi hari penuh tawa dan hadiah berubah menjadi hari ketakutan dan
perpisahan.

Salah satu yang terdampak dari peristiwa ini adalah Tante Lien, penyanyi Belanda yang
lahir di Surabaya. Tante Lien, yang dikenal dengan lagu “Geef Mij Maar Nasi Goreng”,
mencintai Indonesia, terutama kota kelahirannya. Namun, takdir berkata lain.
Saat berusia 14 tahun, Tante Lien menjadi korban pengusiran massal akibat Sinterklas
Hitam. Ironisnya, saat peristiwa itu terjadi, ia sedang berlibur di Belanda dan akibat
kebijakan Soekarno, ia tak bisa kembali ke Indonesia yang ia anggap sebagai tanah
airnya. Perasaan rindu itu kemudian dituangkan dalam karya-karyanya, baik dalam lagu
maupun persona yang ia tampilkan di televisi Belanda.
https://youtu.be/SxK4trH8_Yc?si=5AX6bnVSgqDPpWDN
Pelarangan perayaan Sinterklas bukanlah keputusan yang berdiri sendiri. Ini adalah
bagian dari respons besar Indonesia terhadap kebijakan Belanda yang terus
mempertahankan Irian Barat. Keputusan pengusiran ini menyebabkan 46.000 orang Belanda
kehilangan rumah mereka, memaksa mereka meninggalkan Indonesia dalam waktu singkat.
Beberapa dari mereka adalah generasi yang lahir dan besar di tanah air yang kini harus
mereka tinggalkan selamanya.
Hari yang seharusnya penuh dengan keceriaan berubah menjadi hari perpisahan.
Sinterklas yang biasanya membawa hadiah dan kebahagiaan, kini menjadi simbol
perpisahan dan perpecahan.
Sinterklas Hitam bukan hanya sekadar pelarangan sebuah perayaan, tetapi mencerminkan
dinamika hubungan Indonesia-Belanda pasca-kemerdekaan. Ini menjadi pengingat bahwa
diplomasi dan politik bisa mengubah nasib banyak orang dalam sekejap. Hingga kini,
peristiwa ini tetap menjadi bagian dari sejarah yang tak terlupakan bagi mereka yang
mengalaminya—baik di Indonesia maupun di Belanda.
(SI/Foto-Video.ist)






