Koranprabowo.id, Reliji :
Saat kami diminta PimRed untuk mencari tokoh asal Simalungun yang jarang dibicarakan media atau orang lain, terus terang kami bingung. Kemudia kami dikasih ‘clue oleh Pimred yaitu sosok bernama Djaulung Wismar Saragih Sumbayak.
Kami pun mencari dari bebarapa sumber dan seperti inilah hasilnya, mohon maaf jika kurang sempurna. Djaulung Wismar Saragih Sumbayak, disingkat sebagai J. Wismar Saragih adalah kelahiran Sinondang Utara, Pamatang Raya tahun Kab. Simalungun, Sumatera utara. Beliau dikenal sebagai orang sederhana yang kemudian menjadi pendeta Simalungun pertama dalam sejarahnya, juga dikenal sebagai penterjemah alkitab dalam bahasa batak Simalungun.

Pdt. J. Wismar Saragih bersama istrinya pada sekitar tahun 1935.
Beliau adalah anak kedua dari pasangan Jalam Saragih Sumbayak dengan Ronggainim boru Purba Sigumonrong. Usia 13 tahun Beliau diajari bapaknya tentang ‘surat batak’ sehingga ahli dalam hal ini.
Surat Batak, ( Surat na Sampulu Sia (kesembilan belas huruf), Si Sia-sia, atau Aksara Batak, adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di wilayah masyarakat Batak, Sumatera Utara. Surat Batak terdiri dari beberapa varian yang digunakan untuk menulis enam rumpun bahasa Batak: Batak Angkola, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak Simalungun, dan Batak Toba
Pada 1891, terjadi perang saudara mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Simalungun di Partuanan Raya, termasuk bagi keluarga Jaulung. Penderitaan ini mendorong tekadnya untuk mengangkat harkat martabat keluarga dan menjadi pelopor kebangunan Simalungun. Namun tahun 1904 saat berusia 16 tahun, ayahnya meninggal dunia.

Kemudian Beliau berkenalan dengan Pendeta August Theis. Pada tahun 1907, sekolah zending didirikan di Pamatang Raya. Jaulung mendaftarkan diri sebagai siswa kelas dasar di sekolah itu pada September 1908 karena ketekunanannya dikenalah sebagai siswa yang paling menonjol di kelasnya.
Pembaptisannya berlangsung pada 11 September 1910 dan Beliau diberi nama baptis “Wismar”. Sejak saat itu, Beliau menambahkan nama baptisnya dalam nama lengkapnya.
Sejak thn.1910 Beliau sekolah guru di Sipoholon dengan berjalan kaki , pada tahun 1911, kembali mengikuti ujian masuk sekolah guru (kweekschool), kali ini di Narumonda berhasil mengerjakan ujian tersebut dan diterima belajar di sana selama tahun 1911—1915. Dan dinyatakan lulus dari sekolah itu pada 24 September 1915.

Setelah lulus dari Narumonda, kembali ke Pamatang Raya dan mengajar selama 6 tahun. Namun, pengangkatannya sebagai pegawai negeri pada tahun 1921 membuatnya berhenti bekerja sebagai guru. Pada tahun itu, Beliau mulai menjabat sebagai pangulu balei, yakni jabatan setara sekretaris wilayah, di Kerajaan Panei dan Kerajaan Dolog Silou. Setelah itu, dipindahkan ke Pamatang Siantar dengan jabatan yang sama.
Saat terbuka kesempatan untuk menjadi pendeta pada tahun 1927, Beliau meninggalkan profesinya sebagai pegawai negeri dan mendaftarkan dirinya ke sekolah pendeta diterima di Seminarium HKBP di Sipoholon, Tapanuli. Beliau belajar di sana dari tahun 1927 – 1929. Setelah lulus, ditahbiskan sebagai pendeta HKBP di Simanungkalit pada tanggal 15 Desember 1929. Dengan demikian, Beliau adalah pendeta HKBP pertama yang berasal dari Simalungun.
Usahanya membebaskan etnis Simalungun melalui kekristenan juga dilakukan melalui penerjemahan teks-teks Alkitab ke dalam bahasa Simalungun, hal mana menyebabkan ia dijuluki Een Simaloengoense Luther (Luther dari Simalungun).

Pelestarian dan pengembangan adat istiadat Simalungun juga mendapat perhatian khususnya. Salah satunya adalah idenya menganjurkan penggunaan pakaian adat Simalungun dalam kegiatan ibadah di Gereja, sesuatu yang mengundang kontroversi mengingat para penginjil RMG menganjurkan penanggalan tutup kepala, termasuk gotong dan suri-suri (tutup kepala khas adat Simalungun), di dalam masa ibadah di Gereja.
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, Beliau turut berperan mengajak rakyat Simalungun untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Hal ini dilakukannya melalui mimbar gereja maupun pidato umum, seperti di Lapangan Sepak Bola Pematang Raya pada 23 Desember 1945.

Pada seminar “Silsilah Marga-Marga di Simalungun” yang dilaksanakan pada 24 – 26 Februari 1964 Beliau pelopor usulan agar ke-4 marga Simalungun (Sinaga, Saragih, Damanik, Purba) dimekarkan berdasarkan cabang dari marganya itu sendiri. Sebagai contoh yaitu marga Saragih yang dapat dimekarkan menjadi marga Sumbayak, Garingging, Sitio, Simarmata, Sidauruk, Turnip, dan lainnya.Beliau meninggal tgl. 7 Maret 1968 (umur 79) dan dimakamkan di Parmataraya, Kab. Simalungun. RIP, Oppung.
(Julwed Manullang/Vien Siregar/H.Sijabat/Foto.ist)



GIBRAN – DEDI MULYADI2029: https://www.facebook.com/groups/1352370806000370
KORANPRABOWO FB : https://www.facebook.com/profile.php?id=61557277215737



