Koranprabowo.id, Parekraf :
Candranaya adalah salah satu bangunan bersejarah di Jakarta yang menjadi simbol
warisan budaya Tionghoa di Indonesia. Terletak di Jalan Gajah Mada No. 188, Jakarta
Barat, bangunan ini mencerminkan pengaruh arsitektur Tionghoa klasik yang masih
bertahan hingga kini, meskipun berada di tengah perkembangan modern kota Jakarta.
Bangunan ini awalnya merupakan kediaman Kapitan Tionghoa, Khouw Tian Sek, seorang
pemimpin komunitas Tionghoa pada abad ke-19. Seiring waktu, Candranaya mengalami
berbagai perubahan fungsi dan tantangan dalam pelestariannya, tetapi tetap menjadi
simbol sejarah dan identitas masyarakat Tionghoa di Jakarta.
Didirikan pada tahun 1807 oleh Khouw Tian Sek, Candranaya berasal dari keluarga Khouw,
salah satu keluarga Tionghoa peranakan terkaya pada masa kolonial Belanda. Sebagai
seorang Kapitan Tionghoa, Khouw Tian Sek memegang peran penting dalam mengelola
komunitas Tionghoa di Batavia (sekarang Jakarta). Bangunan ini awalnya digunakan
sebagai kediaman pribadi keluarga Khouw, yang memiliki pengaruh besar dalam sektor
perdagangan dan ekonomi di Batavia. Selain itu, Candranaya juga menjadi tempat
berkumpulnya masyarakat Tionghoa untuk membahas berbagai hal yang berkaitan dengan
perdagangan, sosial, dan budaya.

Pada masa kolonial Belanda, Candranaya tetap menjadi kediaman pribadi keluarga Khouw,
tetapi juga digunakan sebagai pusat kegiatan sosial masyarakat Tionghoa. Setelah
Indonesia merdeka, kepemilikan bangunan ini mulai berpindah tangan, dan sebagian besar
lahannya berubah fungsi. Pada dekade 1960-an dan 1970-an, bangunan ini mulai mengalami
pengabaian dan perubahan drastis, dengan beberapa bagiannya dihancurkan atau digunakan
untuk keperluan lain. Salah satu perubahan terbesar terjadi ketika bagian belakang dan
samping Candranaya diubah menjadi pusat perbelanjaan dan hotel.

Candranaya memiliki gaya arsitektur Tionghoa klasik yang mencerminkan status dan
budaya keluarga pemiliknya. Bangunan ini berbentuk rumah tradisional Tionghoa dengan
struktur tiga bagian utama, yaitu pintu gerbang dengan ukiran khas, halaman tengah
sebagai ruang terbuka, serta bangunan utama yang dulunya menjadi tempat tinggal dan
pusat kegiatan keluarga Khouw. Ciri khas lainnya adalah atap melengkung dengan ujung
runcing, pilar kayu besar berwarna merah, serta dinding dan jendela berukir dengan
motif naga, burung phoenix, dan bunga teratai yang melambangkan keberuntungan serta
kemakmuran.

Selain sebagai tempat tinggal bersejarah, Candranaya memiliki makna budaya yang
mendalam bagi masyarakat Tionghoa di Jakarta. Sebagai rumah seorang Kapitan Tionghoa,
bangunan ini menjadi simbol peran masyarakat Tionghoa dalam membangun ekonomi Batavia.
Saat ini, Candranaya sering digunakan untuk perayaan Imlek, pernikahan tradisional
Tionghoa, pameran seni, seminar sejarah, dan berbagai acara budaya lainnya. Selain itu,
bangunan ini juga menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara yang tertarik
dengan sejarah dan budaya Tionghoa di Indonesia.

Meskipun telah dipugar, Candranaya masih menghadapi berbagai tantangan dalam
pelestariannya. Ancaman modernisasi membuat sebagian besar lahan di sekitarnya berubah
menjadi pusat komersial, sehingga sulit menjaga keasliannya. Selain itu, kesadaran
masyarakat tentang pentingnya Candranaya sebagai bagian dari sejarah Jakarta masih
perlu ditingkatkan melalui edukasi dan promosi. Untuk menjaga relevansinya, Candranaya
perlu dikembangkan sebagai pusat kebudayaan, museum mini, atau tempat wisata edukasi
dengan dukungan pemerintah dan komunitas budaya agar tetap hidup dan bermanfaat bagi
masyarakat luas.
(SI/Foto.Ist)






