Koranprabowo.id, PolitikHukum :
Beredar kabar bahwa akan ada aksi demo warga tentang keresahan dan masih adanya konflik agraria di bulan September 2025 mendatang mereka berasal dari Riau, Jambi, Sumatera dan Sulawesi Selatan yang telah siap bergerak ke Jakarta untuk mengadukan langsung nasibnya kepada Presiden Prabowo Subianto.
Langkah ini diambil setelah berbagai jalur hukum dan birokrasi yang mereka tempuh selama bertahun-tahun tak membuahkan hasil nyata. Sekaligus dukungan kepada Presiden Prabowo dalam mewujudkan reforma agraria yang berkeadilan. Karena upaya selama ini baik melalui kementerian dan lembaga-lembaga negara di bawah Presiden sendiri yang dinilai lamban. Misalnya dalam kasus;

- Konflik Petani Plasma Indragiri Hulu vs PT Alamsari Lestari: Ribuan petani terjerat utang “beracun” sebesar Rp103 miliar dari skema kemitraan yang dikelola korporasi. Para petani tidak pernah menikmati hasil kebun dan kini justru diancam pelelangan sertifikat lahan mereka.
- Konflik Masyarakat Desa Delima vs PT Wira Karya Sakti (Sinar Mas Group): Ratusan warga transmigran dan Melayu lokal terancam tergusur karena lahan mereka diklaim masuk dalam kawasan HTI, meskipun telah digarap secara turun-temurun sejak 1980-an.
- Konflik Desa Delima vs PT Trimitra Lestari: Lahan seluas ±1.000 hektar yang sudah dikelola rakyat sejak lama digusur paksa oleh perusahaan sawit setelah mendapatkan HGU. Masyarakat menuntut lahan dikembalikan dan dimasukkan dalam program reforma agraria.
- Konflik Tiga Dusun (Sarolangun & Batanghari) vs HTI: Setelah mediasi panjang dan pelepasan konsesi disepakati, justru pada 2025 Satgas PKH memasang plang kawasan hutan di lahan warga. Warga merasa dikhianati oleh negara.
- Konflik Komunitas Tapak Dondo, Gowa (Sulsel): Komunitas leluhur Tapak Dondo yang hidup harmonis dengan alam dicap sebagai perambah konservasi. Mereka terancam terusir dari tanah warisan mereka sendiri karena kebijakan konservasi yang kaku.
- Konflik SAD & Petani vs PT REKI: Restorasi hutan yang eksklusif justru memicu penggusuran dan kriminalisasi. Tahun 2025, pemasangan plang PKH memperparah ketegangan dan memperkuat ketimpangan struktural.

Sekaligus Aksi damai ke Istana ini membawa lima tuntutan utama:
[1].Penghapusan utang petani plasma yang cacat prosedur. [2]. Percepatan pelepasan kawasan dan legalisasi tanah rakyat. [3]. Hentikan kriminalisasi dan pemasangan plang PKH di tanah rakyat. [4].Evaluasi pola kemitraan dan restorasi ekosistem yang tidak manusiawi. dan [5]. Pembentukan Badan Nasional Reforma Agraria langsung di bawah Presiden.
Seperti kita tahu Reforma Agraria di Indonesia tahun 2025 difokuskan pada penataan aset dan akses serta penyelesaian sengketa-sengketa.Sekaligus membuka lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan. Pemerintah dan berbagai organisasi masyarakat sipil berkomitmen untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria melalui upaya sistematis, penyelesaian konflik, dan perlindungan hukum.

Pemerintah, khususnya Kementerian ATR/BPN, memiliki peran penting dalam memastikan hak atas tanah, masa depan yang adil, dan berkelanjutan, maka juga jangan alergi jika Organisasi masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat , relawan dan media ikut berperan dalam upaya kearah itu.
Teman teman relawan dimana saja berada,
Di tengah konflik agraria yang terus meningkat, ada 3 (tiga) perempuan muncul sebagai simbol ketangguhan dan perlawanan dari bawah.
Tiomerli Sitinjak: Memanjat Ekskavator Demi Tanah
Sudah dua dekade Tiomerli menggarap tanah di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Pada 2004, bersama warga, ia menempati lahan eks-HGU yang tidak diperpanjang. Namun, pada 2022, perusahaan kembali mendapat izin, mengerahkan ekskavator dan aparat untuk menggusur. “Kami melawan, memanjat ekskavator. Tanah ini sumber hidup kami,” katanya. Meski Komnas HAM meminta penghentian aktivitas perusahaan, surat itu diabaikan. Bersama Serikat Petani Sejahtera Indonesia (Sepasi), ia terus memperjuangkan hak atas tanah.

Wati: Dari Yasinan ke Aksi
Di Banjaranyar, Ciamis, Wati menyulap pengajian menjadi ruang edukasi agraria bagi perempuan. Selama 24 tahun, ia dan warga memperjuangkan legalitas atas lahan garapan mereka. “Tanpa tanah, kami mau makan apa?” ujarnya. Bersama Serikat Petani Pasundan (SPP), ia membangun kesadaran bahwa perjuangan agraria bukan monopoli laki-laki. Kini sebagian wilayah sudah bersertifikat, sebagian lainnya masih terus diperjuangkan.

Luh Sumantri: Dua Dekade Menunggu Pengakuan
Sumantri adalah eks transmigran Timor Timur yang dipulangkan ke Bali pada awal 2000-an. Sudah 21 tahun ia tinggal di Desa Sumberklampok, Buleleng, namun hanya lahan pekarangan yang diakui negara. “Tak ada perusakan, tapi hak kepemilikan tak kunjung datang,” katanya. Bersama suaminya dan pendamping KPA, mereka melakukan pemetaan partisipatif dan aksi damai. Sebanyak 107 kepala keluarga masih menanti legalitas atas 136 hektare lahan garapan.

(Red-01/Foto.ist)
